Pada tanggal 8-9 Agustus 2015 silam, para guru yang tergabung dalam Yayasan Cahaya Guru (YCG) mengadakan Wisata Rumah Ibadah (WRI) ke tujuh tempat ibadah berbeda dari 6 agama yang diakui secara resmi oleh Negara Republik Indonesia. Program ini diadakan dua kali setahun. Salah satu tempat ibadah yang mereka kunjungi adalah Paroki St. Joannes Baptista Parung pada Minggu (09/08) lalu.

Anggota Yayasan Cahaya Guru sedang mendengarkan penjelasan dari Wakil Ketua Dewan Paroki St. Joannes Baptista, Parung. (Foto: Martinus Edo)

“Tenda Biru”, itulah sebutannya, walau nama resminya Gereja St. Joannes Baptista Parung. Gereja ini memang masih berupa tenda darurat beratap terpal biru. Ketika rombongan tiba, terlihat suasana hening diiringi doa dan nyanyian yang merdu. “Ada misa pagi setiap hari Minggu,” demikian saya memberi penjelasan kepada rekan-rekan guru, baik pria maupun wanita yang bukan Katolik. Ada banyak pertanyaan seputar tempat, penerimaan masyarakat, pemerintah, dll. Rasanya pilu di dada. Ada yang kaget, ada juga yang agak geram dengan kondisi tersebut. Diskriminatif katanya. Ya ini Republik sungguhan. Bukan Republik mimpi.

Setelah misa, saya, Ibu Henny Supolo Sitepu (Ketua Yayasan Cahaya Guru), Ibu Henny Girarda, Mas Andi dan 9 orang rekan lainnya menemui Romo Simbol Gaib untuk bersilaturahim dan memperkenalkan diri. Kurang lebih 5 menit kami diterima Romo Gaib. Menurut Romo Gaib, beliau sudah membagi tugas dengan wakil dewan paroki untuk bertemu para guru. Rekan-rekan guru segera bergegas ke bagian kanan tenda yang sudah disiapkan sound system-nya. Ada 37 orang guru dari berbagai satuan pendidikan, SD, SMP dan SMA – SMK se-Jabodetabek. Ada seorang guru pemeluk agama Kristen, ibu Dorthy Simanjuntak; Katolik 2 orang, saya dan ibu Monica Ginting (putri kopendiri Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta) dari paroki Maria Bunda Karmel Meruya, dan selebihnya 34 orang Muslim.

Bp. Tyas Utomo, Wakil Ketua Dewan Pastoral Paroki menyambut rombongan Yayasan Cahaya Guru. (Foto: Martinus Edo)
Bp. Tyas Utomo, Wakil Ketua Dewan Pastoral Paroki menyambut rombongan Yayasan Cahaya Guru. (Foto: Martinus Edo)

Pertemuan singkat dengan wakil dewan Paroki St. Joannes Baptista Parung penuh suasana haru. Ibu Henny Supolo Sitepu hampir tak kuasa menahan rasa haru setelah mendengar penjelasan dari Pak Tyas Utomo tentang jatuh-bangunnya para pengurus dan Tim Advokasi yang gigih memperjuangkan dan bersama umat mempertahankan keberadaan gereja. Cikal bakal gereja ini sudah kurang lebih 38 tahun sejak 1977 dan sebagai paroki sudah 15 tahun terhitung sejak resmi menjadi gereja paroki pada tanggal 24 September 2000.

Yayasan Cahaya Guru yang mengadakan wisata tempat ibadah ini didirikan pada tanggal 15 November 2006. Alasan pendiriannya bahwa tanggung jawab besar masa depan pendidikan anak bangsa berada di tangan guru. Selain itu guru harus bisa memberikan penguatan dan pendampingan kepada masyarakat secara lebih luas menembus batas-batas keagamaan, suku dan budaya. Ia hadir dengan visi mewujudkan komunitas guru yang memiliki keterampilan untuk membangun karakter bangsa yang bermartabat. Hingga saat ini sudah 7500 guru di seluruh Indonesia yang mendapat pelatihan untuk meningkatkan motivasi mengajar, pemahaman teori pendidikan, dan peningkatan penguasaan proses pembelajaran. Model pembelajarannya diskusi teori dan perubahan paradigma pendidikan, pelatihan penggunaan refleksi untuk meningkatkan motivasi mengajar dan belajar, peningkatan keterampilan pengelolaan kelas, penguasaan metodologi dalam pembelajaran, pelatihan pendataan dan penggunaan potensi lingkungan, pelatihan pembuatan sarana belajar, pembuatan indikator keberhasilan setiap pertemuan, pembuatan RPP dan pemberian bantuan mengikuti kursus dan on going formation, dll.

Tujuan dari kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Cahaya Guru ini supaya isu keragaman atau yang sering disebut sebagai pluralitas dan kebangsaan langsung diterapkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, beragama dan bermasyarakat tidak hanya sebatas teori di sekolah, akan tetapi langsung dipraktikkan di tengah kehidupan nyata. Maka guru juga harus bisa membaur dengan sesama rekan guru yang berbeda budaya, agama dan suku. Gurulah yang harus bisa memberikan contoh dan teladan. Contoh tidak sebatas gambaran verbal, tetapi harus nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari. Maka guru diajak masuk rumah ibadah tanpa memandang agamanya apa.

Ada diskusi sesudah itu. Banyak hal menarik yang bisa dibagikan bersama tanpa rasa takut, was-was. Semua bisa berbagi dari ketulusan. Ada togetherness. Ada sasaran bersama yang ingin dicapai juga secara bersama. Ada rekomendasi yang diberikan kepada lembaga terkait sesuai case study yang ditemukan baik dalam diskusi maupun temuan langsung di tengah masyarakat. Grand plan YCG adalah semoga tercapai golden generation di hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-100 tahun 2045 yang menghadirkan sebuah generasi yang toleran, bermartabat tanpa ada rasa curiga satu sama lain karena kesamaan martabat dan satu bangsa – Indonesia. Semoga.* (Gabriel Michael Kia Tolok/Guru dan anggota YCG)

By Admin