Pesan Pengutusan

Sekurang-kurangnya satu kali dalam satu minggu, kita mengamini seruan pengutusan yang berbunyi: “Marilah pergi, kita diutus”. Dengan lantang dan mantap kita pun berseru: Amin. Apa makna mengamini seruan pengutusan itu? Sekarang saya baru sadar dan lalu bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Apakah kelantangan dan kemantapan saya mengamini seruan pengutusan itu semantap pemahamaan dan semangat saya untuk melaksanakan perutusan itu? Atau sebenarnya saya tidak benar-benar paham makna dan pesan seruan itu. Atau, saya sekadar mengatakan tanggapan itu karena sudah hafal. Atau, bersyukur karena Misa Kudus sudah selesai, dan bisa segera berangkat jalan-jalan di hari Minggu. Jangan-jangan orang yang saya anggap alpa mengikuti Misa Kudus di setiap hari Minggu, atau yang sering saya cemooh dengan istilah NaPas (misa hanya saat Natal & Paskah –Red.), lebih paham, menghayati, dan melakukan perutusan itu.

Sebenarnya Tuhan Yesus Juru selamat kita mengutus apa? Dari tema-tema renungan APP tahun ini, saya mencoba untuk menemukan “benang merah” tentang tugas dan tanggung jawab yang wajib dilakukan oleh seorang “utusan”. Pada bagian penutupan, seruan pengutusan pada teks renungan APP ada tambahan kata-kata: “Marilah pergi dan senantiasa mewartakan kasih Tuhan, kita diutus”.  Saya mulai mendapat kejelasan, bahwa tugas seorang utusan adalah senantiasa mewartakan kasih Tuhan. Tambahan kata “senantiasa” ini rupanya menjadi sesuatu yang tidak sederhana. Arti kata senantiasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: selalu, selamanya, tidak putus-putusnya. Kok berat sekali, ya? Bagaimana bisa? Mari kita tengok Ajakan Juru selamat di Matius1: 28 yang berbunyi: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Jadi, kalau pun berbuat kasih itu bagi saya menjadi beban, Yesus pun memberikan jaminan untuk meringankan beban itu.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara mewartakan kasih Tuhan itu? Apakah sebanyak mungkin membagi-bagikan materi yang saya miliki? Mengutip bacaan pada 1 Korintus 13: 4—8, kasih itu: sabar, murah hati, tidak memegahkan diri, tidak sombong, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersuka cita karena ketidakadilan, dan tidak berkesudahan. Banyak sekali prasyarat yang mesti dipenuhi agar dapat berbuat kasih, menjadi utusan yang penuh kasih. Nampaknya hanya sedikit yang dapat saya pahami. Pada saat sharing, berbagi pengalaman, di pertemuan APP ke IV, ada yang menyampaikan pandangan, bahwa kasih yang telah diberikan kepada sesama seringkali diambil kembali. Artinya, apabila seseorang telah memberikan kasihnya kepada orang lain, lalu ia menggerutu atau selalu mengatakan kepada orang-orang, misalnya: “…coba kalau dia tidak saya bantu …., untung ada saya, kalau tidak ada saya ….., saya  sudah melayani habis-habisan tapi masih saja dicela, mundur saja dari kepengurusan ….., dan sebagainya, itu berarti kasih yang telah diberikan diambil kembali. Nah, tindakan dan omongan itu menunjukkan bahwa orang itu tidak murah hati, tetapi ingin memegahkan diri dan mencari keuntungan sendiri.

Pada bacaan Kitab Kejadian 45: 1—28 di pertemuan APP ke IV, terungkap bahwa Yusuf tidak pernah mengeluh, tidak juga protes, apalagi membalas dendam saudara-saudaranya yang memperlakukan Yusuf bak binatang yang dibuang ke sumur, dan kemudian menjualnya sebagai budak belian. Barangkali ini salah satu bentuk ungkapan bahwa kasih itu sabar dan tak berkesudahan. Walaupun sudah dijual sebagai budak belian, dan pada akhirnya menjadi bangsawan terhormat di istana Firaun, kasih Yusuf tidak berkesudahan. Yusuf tidak menjadi sombong dan tidak menyimpan kesalahan saudara-saudaranya yang jahat. Yusuf menjadi penyelamat keluarganya dari bencana kelaparan. Yang menarik dari kasus Yusuf ini, walaupun Yusuf dianggap hina, ternyata ia juga mendatangkan kegembiraan bagi saudara-saudaranya. Saudaranya tidak ingin membuang sia-sia, mereka bergembira karena mendapatkan uang dari hasil penjualan Yusuf sebagai budak belian. Saudara-saudara Yusuf bersuka cita karena ketidakadilan yang ditimpakan kepada Yusuf. Namun, tindakan jahat saudara-saudaranya tidak membuat kasih Yusuf berkesudahan. Yusuf pantang menyerah pada hambatan dan penderitaan dalam mewartakan kasihnya. Sayang, mereka hanya mengambil sedikit dari kebahagiaan yang sebenarnya dapat diberikan oleh Yusuf. Saudara-saudara Yusuf baru memperoleh kebahagiaan besar dari Yusuf setelah mereka semua bertobat. Nah, menurut saya, ini juga berarti bahwa dengan pertobatan maka kebahagiaan besar akan didapatkan. Wah menyenangkan sekali, ya!

Cukupkah penjelasan tentang perbuatan “kasih” dan tugas “pengutusan” di atas? Ada yang lebih penting dari tugas sebagai utusan itu. Yesus Tuhan kita adalah Juru Selamat manusia. Artinya, kita pun juga diutus sebagai penyelamat sesama kita. Yesus bersabda kepada para rasul: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Matius 4: 19). Masalahnya, bagaimana bisa menjadi orang yang dipilih Yesus untuk diutus sebagai penyelamat? Bagaimana  bisa menjadi penjala manusia untuk diselamatkan? Saya pun punya keinginan menjadi orang yang berjasa bagi orang lain. Saya juga ingin mengumpulkan orang banyak untuk menjadi anak buah saya. Alasan saya sederhana saja, yakni, dengan berbuat jasa, saya akan dapat penghargaan, dipuji sebagai orang yang baik, mendapat keuntungan ekonomis, dapat memanfaatkan mereka yang berhutang budi pada saya, mengatur mereka menurut keinginan saya. Kalau saya bisa menyelamatkan orang dari kesulitan, pasti di kemudian hari, jika saya mengalami kesulitan, saya bisa berganti minta pertolongan kepada orang itu, dan sebagainya. Benarkah pamrih-pamrih itu?

Yesus bersabda: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan memperolehnya.” (Matius 16: 24—25; Markus 8: 34—35). Jadi siapa yang dipilih Yesus untuk diutus sebagai penyelamat? Agar Yusuf dapat menyelamatkan keluarganya, maka ia harus rela berkorban dalam penderitaan yang berkepanjangan. Joel dan Lauren yang menempuh perjalanan 4.800 km dapat mempertemukan kasih antara Emma dan ibunya yang telah lama terpisah. Jadi jawaban pertanyaan di atas barangkali juga sederhana. Orang yang dipilih dan diutus untuk menjadi penyelamat bagi sesamanya adalah orang yang senantiasa mewartakan kasih Tuhan, tidak memegahkan diri, rela menderita, tangguh memanggul salib demi keselamatan orang lain, dan dijalankan dengan penuh semangat dan pantang menyerah.

Pengembangan Talenta sebagai Sarana Tugas Perutusan

Yusuf mampu menyelamatkan keluarganya dari bencana kelaparan, karena Yusuf dikaruniai talenta kecerdasan dalam membaca fenomena alam. Yusuf mampu meramalkan bencana kekeringan yang akan terjadi. Yusuf juga dikaruniai talenta kepemimpinan untuk memimpin orang banyak hingga memiliki semangat bekerja yang pantang menyerah menghadapi bencana. Semua talenta yang dimiliki Yusuf pasti tidak akan bermanfaat apabila Yusuf tidak memiliki semangat yang pantang menyerah menghadapi tantangan dalam mengembangkan talentanya. Situasi keluarga, masyarakat dan negara di tempat Yusuf tinggal menjadi ajang belajar dan mengembangkan talentanya. Hasilnya, talenta yang dikaruniakan Tuhan menjadikan Yusuf mampu menjadi penyelamat bangsa dan keluarga dari bahaya kelaparan, mampu memimpin bangsa menuju ke kesejahteraan dan kedamaian.

Yesus telah mengundang orang-orang untuk bekerja di Ladang Tuhan. Menjadi pengurus Gereja juga merupakan panggilan untuk bekerja dan melayani di ladang Tuhan. Masalahnya, apakah tugas pelayanan sebagai pengurus gereja itu juga saya hayati sebagai sebuah tugas perutusan? Inilah yang perlu menjadi bahan perenungan bagi saya dan siapa pun yang menjadi pengurus, atau yang sudah diundang untuk terlibat, tetapi belum mendengar suara undangan itu.

Ilustrasi: Haposan/KOMSOS
Ilustrasi: Haposan/KOMSOS

Bertolak dari tugas perutusan di atas, maka siapa pun yang diundang untuk bekerja di Ladang Tuhan, di Paroki St. Joannes Baptista, Tulang Kuning Parung selayaknya memiliki semangat yang pantang menyerah  untuk mengembangkan talentanya masing-masing agar menghasilkan buah yang melimpah. Seiring dengan tema Paskah 2016, Dewan Pastoral Paroki pun telah mencanangkan kebijakan pengembangan SDM bagi semua pengurus DPP Pleno dan DKP. Gereja perjuangan, Paroki St. Jonnes Baptista, Parung memerlukan pengurus yang memiliki semangat pelayanan yang pantang menyerah dalam melaksanakan tugas menggereja. Menindaklanjuti kebijakan itu, para Pengurus Paroki St. Joannes Baptista, Parung yang telah terpilih perlu dibekali kemampuan pelayanan dan organisasi keparokian yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing melalui berbagai kegiatan rekoleksi dan pelatihan pengembangan kompetensi SDM. Semoga semangat pelayanan pada pengurus semakin mantap dalam menjalankan tugas sebagai utusan yang penuh kasih dan pantang menyerah.*

Selamat Paskah. Tuhan memberkati!

(FX. Rahyono)

By Admin