Foto: Agnika/ KOMSOS
Foto: Agnika/ KOMSOS

(Oleh: R.R. Susanto)

Bagi masyarakat jawa tentunya tahu arti dari judul di atas, walaupun mungkin berbeda-beda dalam mengartikannya. Sebenarnya judul di atas merupakan sebuah pepatah jawa. Pari jero adalah salah satu jenis padi lokal yang enak dan berbau harum, namun sekarang menjadi tidak populer lagi karena masa tanamnya yang panjang. Pepatah “nandur pari jero” menggambarkan suatu sikap atau tindakan yang disadari akan membuahkan hasil yang baik namun memerlukan jangka waktu yang lama, sehingga diperlukan ketekunan dan kesabaran dalam penantian.

Di tengah kemajuan zaman yang serba cepat, sepertinya pepatah di atas menjadi tidak populer lagi. Ketekunan dan kesabaran menjadi barang asing, digantikan oleh sebuah kata sakti yakni “instan”. Semua serba instan. Makanan instan, tinggal siram air panas… taaaraa… jadilah makanan yang dikehendaki. Ingin belanja tinggal buka internet lewat komputer/gadget tanpa perlu kemana-mana, dan taaaraaa… secara instan pula barang datang ke rumah. Dan masih banyak contoh lain yang tidaklah sulit kita temukan dalam hidup sehari-hari.

Tentunya hal-hal di atas tidak sepenuhnya negatif. Namun secara tidak sadar sering kali kita terbawa dalam suatu sikap hidup yang mengarahkan kita menjadi seorang yang maunya instan saja, maunya yang gampang saja. Nggak usah belajar tiba-tiba pintar, ngggak usah kerja tiba tiba dapat duit, nggak usah olahraga tiba-tiba sehat. Siapa sih yang tidak mau seperti itu? Sah-sah saja bukan? Tentu saja sah. Menjadi tidak sah karena sering kali jalan yang diambil adalah jalan pintas yang tidak sesuai dengan iman kekatolikan. Ditambah lagi tuntutan hedonisme dunia yang semakin materialistis sering kali membutakan logika dan mata iman kita. Supaya cepat kaya lalu korupsi dan curang terhadap sesama. Supaya bisa beli gadget baru lalu jual diri. Supaya cepat kurus lalu minum obat-obatan secara berlebihan, dsb.

Dalam bacaan hari ini kita diingatkan kembali tentang arti kesabaran dalam penantian. Umat Israel sangat merindukan datangnya Mesias untuk menyelamatkan mereka. Mereka sangat cemas. Sikap tersebut secara manusiawi dapat dipahami mengingat situasi dan kondisi umat pada waktu itu berada dalam situasi yang sangat sulit. Baik dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya, agama dan sebagainya. Oleh sebab itu kehadiran dan keberadaan Yohanes Pembaptis yang vokal dalam menyuarakan pertobatan secara instan pula diyakini sebagai Mesias yang mereka nantikan selama ini. Namun dengan kerelaan hatinya, Yohanes Pembabtis menyatakan kebenaran yang sesungguhnya bahwa dia bukanlah Mesias yang dinantikan itu. Yohanes mengajarkan kepada umat untuk tetap bertekun dan melakukan pertobatan dengan pembabtisan. Dan akhirnya penantian mereka berbuah manis dengan hadirnya Sang Mesias sejati yakni Yesus Kristus Putra Allah yang akan membawa keselamatan bagi seluruh umat, yang ditandai dengan turunnya Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Luk 3:22)

Semangat “nandur pari jero” kalau dilihat sekilas sepertinya bertentangan dengan filosofi kehidupan modern yang kita lihat pada masa kini. Dan tentu saja kita tidak boleh anti terhadap modernisasi. Hanya saja kita harus melihat bahwa kalau modernisasi diterapkan dengan melupakan nilai-nilai luhur yang dinyatakan oleh Firman Tuhan dan kearifan budaya lokal kita, maka mungkin kita sedang berjalan menuju kehancuran. Allah sedang “nandur pari jero”, oleh karenanya mari kita sebagai umat Katolik yang telah dibaptis, bersabar dalam berproses, setia pada tujuan yang benar, dan menjaga dengan teguh semangat saling menguatkan satu sama lain.

MESKI KADANG TAMPAK LAMBAT NAMUN KENYATAANNYA, ALLAH TAK PERNAH TERLAMBAT.*

By Admin