Pada suatu hari sepasang suami istri bertengkar dengan hebat hingga akhirnya membuat mereka saling diam satu sama lain. Hari berganti hari dan hingga beberapa minggu berlalu, mereka tetap diam seribu bahasa. Hingga suatu hari sang suami mendapat tugas ke luar kota untuk ikut sebuah acara kantor yang sangat penting. Ia harus bangun pukul 3 pagi, suatu hal yang menyebalkan dalam hidupnya. Suami ini sadar yang bisa membuatnya bangun sepagi itu hanyalah istrinya. Tetapi karena gengsi untuk menjadi orang pertama yang berbicara duluan, maka sang suami pun memakai sebuah trik khusus. Ia menuliskan sebuah pesan di selembar kertas memo kepada istrinya, “Besok pagi bangunkan aku pukul 3, aku harus pergi ke luar kota untuk mengikuti acara kantor yang sangat penting.”

Keesokan paginya, sang suami bangun dan sangat terkejut karena ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi. Ia bukan hanya telat bangun, tetapi juga telah tertinggal pesawat. Padahal untuk menuju kota tempat acara kantor, penerbangan pagi itu adalah satu-satunya penerbangan. Terbayanglah bos yang akan memakinya, teman-temannya yang marah karena ketidakhadirananya.

Karena kesal, ia pun segera beranjak dari tempat tidur untuk mencari tahu kenapa sang istri tidak membangunkannya. Tetapi sebelum sempat beranjak, ia melihat sebuah kertas memo tertempel di bantalnya. Kertas itu berisi tulisan, “Hey, bangun! Bangun! Sekarang sudah jam 3 pagi!”

Cerita di atas membuat saya tersenyum simpul namun menggambarkan betapa komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Bukan hanya soal isi atau hal yang dikomunikasikan, tetapi juga cara dalam berkomunikasi. Tak jarang terjadi diantara kita, suatu canda tawa atau guyonan berubah menjadi konflik yang besar ketika kita berkomunikasi lewat pesan singkat atau media yang menggunakan tulisan (WA, BBM, Facebook, dsb). Kalimat yang kita tuliskan tanpa ada niat menyerang atau menyudutkan pihak lain bisa dianggap serangan atau sindiran yang memicu terjadinya konflik. Karenanya kita perlu memilih cara yang tepat dalam berkomunikasi, komunikasi face to face tidak bisa digantikan sepenuhnya dengan komunikasi virtual lewat alat komunikasi.

Teknologi memang telah membawa kita ke dunia yang tanpa batas, begitu mudahnya berkomunikasi dengan orang dari belahan dunia manapun dalam hitungan detik. Tentu saja hal ini memberikan cakrawala baru bagi kita; kita memperoleh banyak sekali manfaat dari komunikasi yang terbuka ini, kita menjadi mudah dalam mencari informasi yang kita perlukan.

Namun dalam memanfaatkan teknologi dalam berkomunikasi ini diperlukan kedewasaan dan tanggung jawab. Jangan sampai kita terjebak dan hanya fokus pada teknologi itu sendiri, dan melupakan esensi dari komunikasinya. Sering kali teknologi semakin “mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat”. Kita sering menjumpai, ketika sebuah keluarga sedang duduk bersama di ruang keluarga, namun masing-masing orang sibuk dengan gadget-nya, dan berkomunikasi justru dengan orang-orang diluar keluarganya. Komunikasi seharusnya meningkatkan keintiman dalam kehidupan keluarga dan bukan sebaliknya.

Selain itu, sering kali teknologi mengaburkan kebenaran, begitu banyak orang menjadikan berita di internet sebagai rujukan, tanpa mempelajari lebih jauh apakah sumber berita tersebut benar atau tidak. Saya sering mendengar perdebatan yang seru baik offline maupun online, mengenai suatu hal dimana masing-masing pihak merujuk kepada sumber berita yang kita tidak pernah tahu apakah berita itu benar atau tidak.

Dalam bacaan Injil Yohanes hari ini pun, Yesus sebagai Putra Allah juga mengambil peran sebagai komunikator  dalam menyampaikan Kasih Bapa kepada kita Umat-Nya:

“Ya Bapa yang adil, memang dunia tidak mengenal Engkau, tetapi Aku mengenal Engkau, dan mereka ini tahu, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku; dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.”

Ijinkan saya mencuplik Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-50: “Komunikasi adalah sebuah karunia Allah yang menuntut sebuah tanggung jawab besar. Saya ingin merujuk pada kekuatan komunikasi ini sebagai “kedekatan”. Perjumpaan antara komunikasi dan kerahiman akan sangat bermanfaat ketika sampai pada tahap di mana perjumpaan itu menghasilkan sebuah kedekatan yang peduli, memberi rasa nyaman, menyembuhkan, menyertai dan merayakan.   Apa yang kita katakan dan cara kita mengatakannya,  setiap kata dan sikap kita, harus mengungkapkan kemurahan, kelembutan dan pengampunan Allah bagi semua orang. Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih insani, kasih ilahi, maka komunikasi kita akan disentuh oleh kuasa Allah sendiri.”* (R.R. Susanto)

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *