Seorang ibu pernah bercerita, ketika di malam hari dia tidak makan, atau makan sedikit saja; paginya badan terasa lebih enteng, merasa lebih segar. Ini dari segi fisik, kita tahu betapa besar manfaat fisik orang pantang dan puasa.

Seorang bapak bercerita, betapa lega hatinya, betapa hati dan pikirannya merasa “plong” setelah merasakan pengampunan Tuhan dalam sakramen. Semangatnya untuk menghayati iman Katolik disegarkan dan diteguhkan karena sekarang dia merasa sudah diampuni, sudah berdamai dengan Tuhan. Martabat hidupnya kembali dipulihkan. Kita tahu betapa besar manfaat rohani orang pantang, puasa dan bertobat.

 

Dalam Injil Markus 1:12-15  yang dibacakan, direnungkan dan diwartakan Gereja Katolik  di  seluruh dunia pada Minggu Prapaskah I; Yesus dipimpin Roh Kudus berpuasa 40 hari. Sebelumnya Tuhan telah dibaptis oleh Yohanes Baptista.

Puasa dan dorongan Roh Kudus  telah membawa  Yesus menjadi manusia yang menunjukkan jati diri-Nya sebagai Mesias, Sang Penyelamat dan Pembawa kabar gembira yang penuh semangat. Yesus  menyerukan “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

Waktu itu sudah genap, sekaranglah saatnya, kita diajak bertobat dan percaya kepada kabar keselamatan-Nya. Gereja mengulang dan mewartakan lagi seruan itu kepada umat pada masa Prapaskah ini. “Ecclessia simper reformanda”, Gereja harus selalu direformasi, dibarui dan ditata kembali. Gereja itu adalah kita.

Gereja bagai bahtera yang sering oleng dan melenceng, perlu diarahkan lagi menuju pelabuhan surgawi. Itulah kita. Kita yang sering malas berdoa, malas berbuat baik, malas membangun keluarga  kristiani; dipanggil untuk berpuasa, berpantang dan membaharui diri menjadi Gereja yang lebih hidup, lebih bergairah, lebih tertata dan lebih mantap berlayar.

Ada saja kendala bagi kita untuk bertobat. Salah satunya adalah rasa kemapanan. Kita merasa sudah menjalankan perintah Tuhan, sudah berdoa, sudah ikut misa kudus. Apalagi yang kurang? Kita juga merasa tidak melakukan dosa besar sehingga rasanya tak ada hal besar yang patut disesali. Rasanya tidak begitu mendesak untuk mengaku dosa. Akibat dari perasaan “mapan” tersebut, kita menjadi enggan atau kurang bersungguh-sungguh untuk membaharui diri. Hidup kita bisa tenggelam dalam kerutinan.

Injil hari ini memanggil kita untuk terbuka, untuk tidak menutup diri terhadap seruan tobat dari Yesus. Saya yakin, kita yang menyadari  “waktunya telah genap” untuk bertobat, nanti akan memetik buah manis berupa manusia yang baru, manusia Kristiani yang menjadi baru, menjadi hiasan indah Gereja, terang bagi sesama, dan berkenan di hati Tuhan.*