Foto: Elmi Wiarti
Foto: Elmi Wiarti

Berbeda dengan perayaan Paskah tahun-tahun sebelumnya, kali ini saya merayakan Paskah di Larantuka. Sebuah pengalaman istimewa karena saya sudah sering mendengar dan melihat di televisi tentang cerita Paskah di Larantuka. Apalagi teman-teman saya juga sering bercerita tentang hal tersebut. Larantuka memang sering disebut sebagai “Vatikan”-nya Indonesia.

Ketertarikan pada Larantuka sepertinya didengar oleh Tuhan. Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) DPD Keuskupan Bogor bersama Christour mengadakan Wisata Rohani “Semana Santa di Larantuka”. Saya pun segera mendaftar. Dan rupanya pembayaran boleh diangsur beberapa kali. Hal ini menjadi kabar yang menggembirakan. Anggota WKRI dari berbagai cabang, baik dari Keuskupan Bogor maupun di luar Keuskupan Bogor, serta peserta umum dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Semarang mengikuti kegiatan ini. Ada 34 orang yang mengikuti “Semana Santa di Larantuka” tahun ini.

Sebelum berangkat, terbayang di benak saya sebuah kota kecil berbukit dengan laut yang indah. Suasana etnik dan unik serta segala ciri khas Paskah melintas di benak saya ketika membayangkan Larantuka. Bayangan itu pun terjawab ketika kami tiba di sana. Memasuki kota Larantuka, sebuah patung besar Reinsha Rosari (Bunda Maria) berwarna emas menyambut kedatangan kami. Kota Larantuka adalah Kota Maria, kota yang terletak di kaki Gunung Ile Mandiri dan pantai yang indah berseberangan dengan Pulau Adonara. Ada banyak sekali kapel di kota ini. Beberapa masjid besar juga terlihat.

Semana Santa menjadi kegiatan yang melibatkan semua lapisan masyarakat di Larantuka. Kegiatan yang berpuncak pada Kamis Putih, Jumat Agung, dan Paskah ini melibatkan masyarakat untuk mengamankan, menertibkan seluruh rangkaian upacara. Anak muda maupun orang dewasa, pria dan wanita bertugas dengan ramah di sepanjang jalan menuju kapel-kapel dan katedral tempat upacara diadakan. Bahkan warga masyarakat menyediakan minuman dan kue gratis bagi para peziarah yang melewati depan rumahnya.

Tradisi Paskah di Larantuka sudah dilakukan sejak lima abad yang lalu ketika Bangsa Portugis datang ke sana. Dan kini tradisi Paskah tersebut dilakukan setiap tahun di Larantuka.  Perayaan agama yang dipadu dengan upacara  tradisi penghormatan terhadap Tuan Ma (Ibu Maria), Tuan Ana (Tuhan Yesus), dan Tuan Menino (Tuhan Yesus Muda) ini menjadi kekayaan budaya Indonesia yang menarik para wisatawan dalam dan luar negeri. Penghormatan tersebut dilakukan pada Kamis sampai Jumat sebelum Ibadat Jumat Agung, dengan cara mencium patung Tuan Ma, Tuan Ana, dan Tuan Menino yang diletakkan di masing-masing kapel.

Jumat Agung di Larantuka
Jumat Agung di Larantuka

Ada satu hal yang sangat menarik. Ketika prosesi perarakan Tuan Ma dan Tuan Ana menuju Katedral Putri Reinha Rosari (PRR) berlangsung, hujan turun sangat deras. Namun para pengiring yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak tetap patuh pada tugas di dalam barisannya walaupun basah kuyup. Mereka tetap berjalan perlahan tanpa payung atau topi sambil terus melantunkan lagu-lagu pujian sampai tiba di dalam katedral. Luar biasa.

Selain itu, saya juga terkesan pada kearifan lokal yang ada di sana terkait dengan lingkungan hidup. Alam sangat dihormati. Kebersihan selalu dijaga di tiap-tiap kota yang kami kunjungi. Di kampung adat Bena, setiap perempuan wajib bisa menenun kain. Dan yang menjadi ciri khasnya adalah kain tenunan Bena harus dibuat dengan pewarna alami (bukan pewarna kimia) dari akar pohon dan daun-daunan. Bisa dibayangkan, limbahnya tidak mencemari tanah kampung itu.

Sebuah pengalaman Paskah yang istimewa yang juga membangkitkan semangat kami untuk makin mencintai tradisi, kekayaan kuliner, penghormatan kepada Yesus, dan juga semangat cinta lingkungan.* (Elmi/WKRI)

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *