Malam hari itu hujan turun dengan deras sepanjang perjalanan dari kantor menuju rumah. Karena kondisi jalanan yang macet, jam 19.45 aku baru sampai di rumah. Segera aku buka mantel dan baju seragamku yang juga basah karena air hujan bercampur keringat. Dingin sekali rasanya ketika aku mengguyur tubuhku di kamar mandi. Segera setelah berpakaian, aku langsung menuju meja makan. Sambil tersenyum, istriku menyuguhkan semangkuk mie kuah panas plus telur kesukaanku. “Makasih ya ma, pas banget nih dingin-dingin begini makan mie kuah. Mama tau aja pikiran ayah”, kataku. Akhirnya aku makan sambil berbincang ditemani oleh istriku. Seperti biasa, aku selalu menyisihkan sepotong kuning telur berkuah, sebagai “gong” penutup santap malamku.
Namun tiba-tiba, anakku Danken menghampiriku dari belakang. “Ayah makan mie kuah,ya? Aku mau. Bagi dong,” pintanya. Sejenak aku terdiam dan memandangi wajahnya yang tersenyum penuh harap. Sempat terbersit rasa jengkel di hatiku karena aku baru saja hendak menutup makan malamku dengan bagian yang paling aku sukai. Namun ketika aku merasakan keinginannya yang begitu besar, seketika itu juga hatiku luluh. Dan potongan kuning telur yang lezat itupun akhirnya berpindah tangan. Sambil tersenyum, aku melihatnya menghabiskan telur itu dengan lahap. Dan begitulah cerita ini berakhir.
Apakah anda pernah mengalami kejadian seperti ini? Ketika kita hendak menikmati sesuatu yang sangat kita sukai – sesuatu yang sudah lama kita idamkan dengan penuh harap – tiba-tiba hal itu diambil dari kita. Atau ketika suatu saat ada orang lain meminta sesuatu yang menjadi milik kesayangan kita, benda yang sangat berharga buat kita. Bagaimana perasaan kita? Apa tindakan kita?
Dalam bacaan kitab suci hari ini, kita mendengar kisah para perempuan yang luar biasa. Para janda miskin yang rela memberi dari kekurangan mereka. Dalam Kitab Raja-Raja, seorang janda miskin memberikan roti terakhir yang ia miliki kepada Nabi Elia. Dalam Injil Markus hari ini, diceritakan juga tentang janda miskin yang memberikan seluruh nafkahnya ke dalam peti persembahan. Sungguh suatu perbuatan yang “gila” untuk ukuran kita pada jaman sekarang. Bagaimana mungkin kita bisa memberikan satu-satunya hal yang paling berharga bagi kita kepada orang lain?
Mari kita renungkan apa yang dapat kita petik dari cerita ini. Ketika kita menganggap bahwa suatu hal sangat berharga untuk kita, maka seluruh pikiran dan perasaan kita akan dikendalikan oleh hal itu. Mungkin hal itu bisa berupa uang atau barang berharga lainnya. Tapi bisa juga berupa harga diri, kehormatan, pengalaman tidak menyenangkan atau bahkan kebencian. Dengan segala usaha, kita akan berjuang untuk menyimpannya dan tidak ingin melepaskannya. Pikiran kita sungguh percaya, bahwa tanpa hal itu, hidup kita menjadi tidak berarti.
Tapi benarkah demikian? Apakah memang hal-hal itu merupakan sesuatu yang begitu berharga, hingga kita mau mengabdikan seluruh hidup kita untuk menyimpan atau menikmatinya? Bukankah dengan demikian kita sudah menjadi “budak” yang tidak lagi memiliki kebebasan untuk menikmati hidup? Bagaimana dengan perasaan khawatir yang selalu menghantui, jika suatu saat semua kekayaan, atau barang-barang, atau harga diri, atau kebencian kita diambil dari diri kita? Lantas apa lagi yang bisa membuat hidup kita menjadi berarti?
Para janda dalam cerita kitab suci hari ini memberi contoh bahwa dengan melepaskan milik yang paling berharga, kita bisa terbebas dari rasa takut. Takut akan kesusahan hidup, bahkan kematian. Kita tidak lagi diperbudak oleh hal-hal itu. Karena memang bukan hal-hal itulah yang menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup kita. Justru dengan melepaskannya dan membiarkannya mengalir melalui diri kita, hidup akan lebih indah untuk dijalani.
Santo Paulus hari ini menyampaikan bahwa Yesus juga telah mempersembahkan diri-Nya sendiri untuk menanggung dosa banyak orang. Seluruh hidupnya, kehormatan, bahkan ke-Allah-annya tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dipertahankan. Dengan pemberian-Nya yang tulus itu, keselamatan diterima oleh semua orang dan kepada-Nya diberikan kemuliaan.
Semoga teladan ini memampukan kita untuk berani melangkah menapaki jalan kebahagiaan, dengan melepaskan hal-hal yang menyebabkan hidup kita tidak bahagia. Tuhan memberkati.*(Adrianus Suharbanu)