4novel-positifFilm Nada untuk Asa yang mengangkat kisah perjuangan yang tak terbayangkan dan harus dihadapi dua perempuan positif HIV sudah mulai tayang di bioskop sejak 5 Februari 2015 lalu. Film yang diangkat dari novel karya Ita Sembiring ini direkomendasikan oleh Mgr. Ign. Suharyo sebagai bentuk pewartaan gaya baru. Beberapa waktu lalu, INFINITA berkesempatan ngobrol singkat dengan Mbak Ita, sang penulis novel.

 

Hai mbak, sekarang Mbak Ita sedang sibuk apa?

Sehari-hari saya masih tetap nulis dan nulis. Baik itu script juga buku. Nulis itu nafas saya. Saya juga ngajar di beberapa universitas dan Communicasting Academy.

 

Bagaimana awal mulanya Mbak Ita bisa tercetus untuk menulis novel “Positif! Nada untuk Asa”?

Suatu kali Romo Harry Sulistyo mengajak saya untuk ngobrol bikin sebuah karya dengan tema besarnya bagaimana membuat hidup manusia lebih bermartabat. Dan dalam diskusi santai itu ada beberapa teman lain dengan beragam ketrampilan dan keahlian masing-masing.
Kami semua yang sama-sama membahas ide ini akhirnya membentuk komunitas Sahabat Positif dengan rencana membuat rangkaian kegiatan pelayanan dalam bentuk novel, drama musikal, dan film layar lebar. Saya kebagian menulis novel. Dramusnya Romon Harry Sulistyo dan Romo Steve Winarto. Filmnya dipercayakan oleh Sahabat Positif kepada Magma entertainment.

 

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis novel tersebut?

Menulis novelnya dua minggu.  Waktu itu deadline kita emang mepet banget sebab banyak hal yang harus dipersiapkan teman-teman  di Sahabat Positif untuk 3 proyek besar ini.

 

Bagian mana dari novel ini yang sangat menyentuh/berpengaruh terhadap anda secara pribadi?

Semuanya menyentuh karena buat saya karya ini adalah kesatuan yang utuh.

 

Apa yang anda harapkan ketika orang membaca novel ini?

Saya harapkan setelah membaca novel ini orang semakin berani untuk hidup dalam arti hidup lebih baik dengan menghargai kehidupan itu sendiri juga menghargai kehidupan orang lain. Membuat hidup orang lain menjadi lebih bermartabat dan terutama kepada mereka yang terpinggirkan.

Bagaimana perasaan anda ketika diberitahu bahwa novel ini diangkat ke dalam pentas musikal dan bahkan kemudian dibuat filmnya?

Pastinya senang bisa ikut ambil bagian. Dan dari awal, kita memang sudah merencanakan bahwa ini akan jadi tiga karya seni, yaitu novel, dramus, dan film.*(Agnika)